đ· Korupsi Kolusi Dan Nepotisme Disebut Bahaya Laten Karena
Masalahsosial laten atau l atent social problem menjadi masalah yang cukup sulit diatasi karena ketidaksadaran masyarakat akan masalah tersebut. Berikut yang termasuk masalah sosial laten adalah . balapan liar di jalan raya. perampokan di perkotaan. korupsi, kolusi, dan nepotisme. kurang disiplin dalam bekerja.- Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN menjadi salah satu masalah di Indonesia yang belum terselesaikan. Dengan adanya TAP MPR - Nomor XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pemerintah kemudian menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mengatur tindak KKN tersebut. Beberapa undang-undang tersebut yakni1. Undang- undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Halaman Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 2. Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Fungsi dan Wewenang Komisi Pemeriksa; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tatacara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Tujuan pemerintah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari tindak penyelewengan kekuasaan. Dengan demikian, aparatur negara mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya dengan penuh tanggung Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Sedangkan Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Sementara Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan KKN Contoh penanganan kasus KKN yakni pada masa pemerintahan presiden Soeharto. Tindakan ini berdasarkan atas TAP MPR-RI No. XI/MPR/1998. Dua kasus KKN yang disorot pada masa itu adalah yayasan-yayasan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dan kebijaksanaan mobil nasional. Terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang terhadap dua kasus tersebut. Berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya KKN di masa depan mengutip dari Buku Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme dari Perekonomian Nasional, yaitu. 1. Memperkuat sarana dan prasarana hukum, dapat ditempuh melalui cara berikut. Pembuatan Peraturan Perundangan Baru; Penyempurnaan/Pencabutan Peraturan Perundangan; Peraturan Perundangan Lain Yang Mendukung Upaya Penghapusan KKN. 2. Penyempurnaan Kelembagaan Penegak Hukum Seorang pejabat negara harus mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik dan mampu mengembangkan manusia secara luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Dalam penegakkan hukum harus dibarengi dengan rasa kemanusiaan, agar menghindari adanya diskriminasi hukum bagi rakyat bawah. 3. Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat Setiap warga negara dapat menyuarakan pendapatnya terhadap sebuah keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Langkah ini dapat diambil ketika masyarakat ikut serta dalam kegiatan pemilu. Sehingga tindakan KKN dapat diminimalisir dengan adanya peran serta masyarakat secara langsung. 4. Peningkatan Pelayanan Masyarakat Pemerataan pelayanan secara adil dengan tidak membedakan status dan golongan dapat menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara. Transparansi pelayanan masyarakat dibutuhkan agar lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. 5. Peningkatan Kesejahteraan PNS, Poiri, dan TNI Upaya penanggulangan KKN dengan cara menaikkan gaji pejabat atau aparatur negara hanyalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya kejahatan korupsi. Karena KKN akan tetap terjadi apabila kepribadian dari pejabat negara masih buruk. Dalam hal ini penting adanya pendekatan moralistis, nilai-nilai dan keyakinan dalam ajaran juga Mengenal Program KKN Tematik Covid-19 dan Cerita Relawan KKN Ekonomi Indonesia 1989-1996 Berjaya tapi Labil dan Penuh KKN - Sosial Budaya Kontributor Chyntia Dyah RahmadhaniPenulis Chyntia Dyah RahmadhaniEditor Yantina Debora
kitasering terjebak pada pemikiran bahwa tindakan kkn (korupsi kolusi dan nepotisme) itu adalah pada saat sedang berlangsungnya suatu kegiatan pro
ï»żLaten tidak terlihat...Jadi, korupsi, kolusi, nepotisme itu gak terlihat tapi terjadi sangat parah...Kita sebut itu rahasia umum... rahasia yang udah diketahui masyarakat berlangsung secara terus menerus disini tertulis merugikan masyarakat/ berlangsung secara terus menerus. menurut anda mana yang paling tepat?
Lebihlanjut Aminzon menambahkan,"Dengan dugaan tersebut , yang mengarah ada dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) maka kami laporkan dalam bentuk saran pendapat ke pihak berwenang untuk lebih mendalami dan mengusut sampai tuntas, kami yakini ada dugaan kerugian negara mencapai ratusan juta rupiah," tambahnya.
DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME KKN Korupsi bahasa latin courruptio dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar. Menurunnya tingkat kesejahteraan menyengsarakan rakyat, kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN. Pada umumnya, korupsi adalah âbenalu sosialâ yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu, Korupsi merupakan bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang negative, karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak memihak kepentingan bersama egois, mengabaikan etika, melanggar aturan hukum, dan terlebih melanggar aturan agama. Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Dan Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang otentik. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN ini merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN ini merupakan produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat. Dalam konteks USDRP yang diinisasi Pemerintah dan Bank Dunia, KKN menjadi penyebab rendahnya daya saing suatu daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/daerah maupun semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan publik. Untuk itu, menjadi suatu kewajaran salah satu manual UIDP yang dikembangkan oleh CPMU dengan dukungan Team Manajemen Konsultan UIDP dan MTAS mengembangkan manual tentang Program Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dikenal Anti Corruption Action Plan/ACAP. Tentunya pengembangan manual ACAP yang sedang disiapkan oleh Team Konsultan Tingkat Nasional tersebut menjadi saksi bahwa Pemerintah dan Bank Dunia melalui USDRP serius untuk membasmi pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN beserta benih-benihnya. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN menjadi tumbuh subur pada suatu tatanan pemerintahan yang mengabaikan prinsip demokratisasi dasar yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh kembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust terhadap pemerintahnya. Hernando de Soto 1992 misalnya menyatakan. ââŠ.terdapat perilaku rasional rational choice dari masyarakat untuk menjadi âinformalâ secara ekonomis terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Munculnya perilaku rational choice masyarakat tidak terlepas dari perilaku birokrasi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.â Barzelay 1982 dalam Breaking Through Bureaucracyâ menyatakan â masyarakat bosan pada birokrasi yang rakus dan bekerja lambanâ Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberan Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan preventif. Perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara pelaku korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi. Akibat â akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN ini adalah Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi. Selanjutnya Mc Mullan 1961 menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusahaterutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya BAP mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat. Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi, kolusi dan Nepotisme KKN ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan preventif. Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi, kolusi dan Nepotisme KKN ini akan semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu. Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum. Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan. Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya. Upaya Penanggulangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansipemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara. mengusahakan perbaikan penghasilan gaji bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan âsense ofbelongingnessâ dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu berusaha berbuat yang terbaik. Pada akhirnya pemerintah mempunyai peran penting dalam penanganan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN ini sehingga bangsa kita bisa lebih menjadi lebih baik dan lebih maju.
2 penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, 3. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan 4. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah 1. memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), 2. penggelapan dalam jabatan, 3. pemerasan dalam
Korupsi kolusi dan nepotisme disebut bahaya laten, karena? - 3437941 ququ ququ 11.09.2015 IPS Sekolah Menengah Atas terjawab Korupsi, kolusi dan nepotisme disebut bahaya laten, karena? 1 Lihat jawaban Iklan Iklan andrioonionz andrioonionz Laten: tidak terlihat Jadi, korupsi, kolusi, nepotisme itu gak terlihat tapi terjadi sangat parah Jikadahulu tantangan dan pengkhianatan terhadap Pancasila berupa fisik seperti revolusi dan pertumpahan darah (latar belakang historis dijadikannya 1 Oktober sebagi Hari Kesaktian Pancasila) maka tantangan dan pengkhianatan saat ini lebih halus dan meluas. Ia berwujud Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Oligarki Politik-ekonomi, produk Angkatan'66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, Mithras (Mitra) di Iran, yang juga dinyatakan dilahirkan dalam sebuah gua dan mempunyai 12 orang murid. Dia juga disebut sebagai Sang Penyelamat, karena ia pun mengalami kematian dan dikuburkan, tapi bangkit kembali. Penelitianini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengobjektifikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai sikap indisipliner dan inkonsisten yang dapat hadir dalam diri manusia tanpa dibatasi dimensi waktu dan ruang. Kedua, memastikan dan mengukur keberadaan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muáž„ammad ibn 'AbdillÄh dengan
.